Alhamdulillâhi wahdah, wash shalalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit kejadian dan peristiwa di sekeliling kita, yang ternyata mengandung berbagai pelajaran berharga yang bisa dipetik. Namun sayang seribu sayang, banyak orang yang tidak peduli dengan hal itu, dan tetap bersikukuh memilih melêk walang alias melihat namun tidak mengambil pelajaran.
Belajar dari tukang parkir
“Wah, masa kita disuruh belajar dari tukang parkir?! Yang benar saja! Wong latar belakang pendidikan dan kasta kita lebih tinggi koq!” Barangkali inilah komentar sebagian orang.
Ternyata masih banyak orang yang merasa dirinya wah, sehingga enggan untuk berguru atau sekedar mengambil pelajaran dari orang lain! Berhati-hatilah dari virus keangkuhan!
Perlu selektif dalam menuntut ilmu
Mari kita lihat rutinitas harian tukang parkir. Dalam sehari mungkin ada ratusan motor dan puluhan mobil yang dia layani. Mulai dari yang paling kinclong sampai yang paling butut. Menariknya, si tukang parkir tidak pernah menahan para pemilik motor dan mobil tersebut, atau merasa sewot, manakala mereka mengambil kendaraannya. Kenapa? Karena kendaraan tersebut bukan miliknya. Ya bukan miliknya!
Begitu pula kita saksikan, bahwa tukang parkir tidak sembarangan memakai kendaraan tersebut, walaupun ada di depan matanya dan berada di ‘wilayah kekuasaanya’. Mengapa? Karena kendaraan tersebut bukan miliknya. Ya, sekali lagi bukan miliknya.
Dalam kehidupan di dunia, tentu kita memiliki banyak sesuatu. Rumah, sawah, uang, motor, HP, kulkas dan yang semisal. Kita juga mempunyai bapak, ibu, anak, kakak, adik dan kerabat lainnya. Semua memang secara lahiriah adalah milik kita, namun pada hakikatnya adalah titipan dari Yang Maha Kuasa.
Maka, seharusnya sikap kita adalah:
1. Mempergunakan barang-barang tersebut dan bersikap dengan orang-orang itu, sesuai dengan aturan yang telah digariskan Sang Pemilik hakiki; Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser di hari kiamat hingga ditanya tentang umurnya dipergunakan untuk apa, tentang ilmunya sudahkah diamalkan, tentang hartanya dari mana didapatkan dan dipergunakan untuk apa, serta tentang tubuhnya dipergunakan untuk apa?”. HR. Tirmidzy dan dinyatakan hasan sahih oleh beliau.
2. Menerima dengan penuh kesabaran dan keridhaan, manakala titipin tersebut diambil oleh Sang Pemilik hakiki; Allah jalla wa ‘ala.
Artinya: “Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn” (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita dikembalikan). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. QS. Al-Baqarah: 155-157.